Jumaat, 16 Mac 2012

Jalan Menuju Taqwa

Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Dzhilalil Qur’an menjelaskan bahawa taqwa merupakan kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus-menerus, selalu waspada dan hati-hati terhadap duri yang bertebaran di sepanjang jalan kehidupan. Taqwa merupakan sumber segala kebaikan kehidupan masyarakat, satu-satunya cara untuk mencegah kejahatan, kerosakan, dan perbuatan dosa. Taqwa merupakan perkara utama dalam pembinaan jiwa dan akhlaq seseorang untuk menghadapi berbagai fenomena kehidpuan.

Untuk itu, Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Ruhaniyatud Da’iyah (Tarbiyah Ruhiyah) mengajak setiap muslim melakukan aktiviti yang dapat menggapai darjat taqwa. Setiap muslim perlu mengukuhkan ruhiyahnya dengan melakukan mu’ahadah, muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, dan mujahadah.

Mengingati Perjanjian

Setiap muslim, sesungguhnya telah melakukan perjanjian dengan Rabb-nya ketika ia melakukan shalat. Ketika kita melaksanakan shalat, kita sudah pasti mengucapkan kalimat, “Hanya kepada Engkau yang kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.” Ayat keempat dalam surat Al-Fatihah ini merupakan perjanjian seorang hamba kepada Rabb-nya. Sebuah perjanjian untuk tidak akan menyembah selain Allah, dan sebuah perjanjian tidak akan melakukan kesyirikan kepada-Nya.

Merasakan Kesertaan Allah

Muraqabah ialah merasakan keagungan Allah azza wa jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW ditanya oleh Malaikat Jibril tentang ihsan, beliau bersabda, “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-seolah kamu melihat-Nya, dan jika memang kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kamu.”

Menjaga niat agar selalu dalam niat yang benar, bebas dari niat yang ditunggangi syahwat duniawi, adalah sebuah cara dalam melakukan muraqabah.

Beberapa jenis muraqabah yang harus kita fahami, iaitu muraqabah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya. Muraqabah dalam kemaksiyatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total. Muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya. Dan muraqabah dalam musibah adalah dengan ridha terhadap ketentuan Allah, dan memohon pertolongan kepada-Nya dengan penuh kesabaran.

Introspeksi Diri

Melakukan muhasabah (introspeksi diri) bagi seorang mu’min merupakan keharusan. Sebab, setiap amal yang telah kita lakukan akan dihisab di akhirat kelak. Maka, hendaknya kita menghisab diri terhadap setiap perbuatan. Sudah luruskah niatnya? Benarkah caranya? Dan bermanfaatkah bagi kita dan orang lain?

Berkaitan dengan hal ini, Umar bin Khattab ra berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”

Memberi peringatan

Bila kita melakukan sebuah kesalahan maka tidak boleh kita membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah melakukan perlanggaran-pelanggaran berikutnya, dan akan semakin sukar untuk meninggalkannya. Sepatutnya kita memberikan peringatan (mu’aqabah) atas setiap kesalahan yang kita lakukan.

Namun hendaknya, peringatan yang kita berikan baik kepada diri atau pun orang lain merupakan sebuah peringatan yang mubah, yang dapat diterapkan untuk memberikan peringatan, dan membuat kita termotivasi menghindari setiap kesalahan sekecil manapun. Memberikan peringatan bertujuan agar kita selalu ingat bahawa di akhirat kelak setiap perbuatan dosa akan mendapat balasannya -kecuali sudah diampuni Allah yang Maha Pengampun-. Misalnya, saat kita tidak melakukan shaum sunnah, qiyamul lail atau tilawah, kita paksakan diri kita untuk bersedekah, atau melakukan amalan soleh yang lain.

Mengoptimumkan Kemampuan

Mujahadah (optimalisasi) adalah satu cara supaya kita memiliki kesungguhan, ketegasan, serius, dan semangat yang tinggi bila suatu waktu kita dihinggapi penyakit malas, santai, atau futhur dalam melaksanakan amal-amal sunah dan ketaatan lainnya. Para sahabat dan salafus shalih telah memberikan contoh cara mereka bermujahadah. Misalnya, Umar bin Khattab pernah ketinggalan shalat berjamaah. Lalu malam harinya beliau isi dengan ibadah dan tidak tidur.

Namun hendaknya dalam bermujahadah, kita harus memperhatikan dua perkara penting berikut. Pertama, hendaknya amal-amal yang sunnah tidak membuat lupa akan kewajiban-kewajiban yang lainnya. Misalnya, mengerjakan suatu sunnah tertentu jangan sampai mengabaikan hak-hak keluarga (nafkah), atau mengabaikan hak dirinya. Kedua, tidak memaksakan diri dengan amal-amal sunnah yang diluar kemampuannya. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan.” (HR. Bukhari dan Muslim).


>>> RAWATAN & SIHAT Tanpa UBAT <<<

0 ulasan:

Catat Ulasan